EDISIKINI.COM, Jakarta — Perkembangan anak di era digital saat ini sangat dipengaruhi oleh ketersediaan teknologi yang mengubah cara mereka belajar, berinteraksi, dan memperoleh informasi.Teknologi digital membawa peluang besar dalam proses pembelajaran, seperti akses pengetahuan yang lebih luas, aktivitas belajar yang lebih interaktif, serta kemampuan anak untuk mengembangkan kreativitas secara mandiri. Namun, perkembangan ini juga menimbulkan tantangan, seperti paparan informasi berlebihan, gangguan fokus, hingga risiko konsumsi konten yang tidak pantas.
Di sisi lain, masih banyak guru yang menggunakan metode pembelajaran konvensional, terutama metode ceramah yang bersifat satu arah. Metode ini kurang sesuai dengan karakteristik generasi digital yang lebih membutuhkan pembelajaran visual, interaktif, dan kolaboratif.
Hasil survei Kemendikbudristek menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% guru non-TIK yang dinilai siap dengan teknologi, sehingga mayoritas guru masih kesulitan dalam memanfaatkan perangkat digital di kelas. Ketimpangan ini diperparah oleh fakta bahwa meskipun 316.167 sekolah di Indonesia sudah terkoneksi internet, kualitas koneksi dan ketersediaan perangkat belajar masih sangat tidak merata antar daerah. UNICEF juga menegaskan bahwa keterbatasan akses internet dan minimnya perangkat digital masih menjadi hambatan utama dalam pembelajaran digital di Indonesia, terutama di wilayah nonperkotaan.
Kesenjangan literasi digital antara guru dan murid semakin memperburuk proses pembelajaran. Ketika murid mampu mengakses informasi dengan cepat melalui media digital, sementara guru tidak menguasai teknologi, pembelajaran menjadi tidak efektif dan digitalisasi pendidikan terhambat.
Studi akademik terbaru juga menyimpulkan bahwa literasi digital guru di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga penerapan pembelajaran berbasis teknologi belum optimal. Kondisi ini tidak sekadar menjadi hambatan teknis, tetapi juga memengaruhi kualitas pembelajaran itu sendiri.
Anak yang terbiasa belajar secara visual, cepat, dan interaktif sering kali kesulitan terlibat dalam pembelajaran tradisional yang satu arah.Artikel ini membahas tantangan utama kesenjangan digital antara guru dan siswa, sekaligus menawarkan solusi strategis agar pendidikan Indonesia dapat bergerak seirama dengan perkembangan zaman.
Tantangan Kesenjangan Digital di sekolah
Sekarang ini, pendidikan tidak hanya terjadi di kelas. Teknologi telah membuatnya lebih fleksibel. Dengan adanya internet, siswa bisa mengakses materi pelajaran kapan saja, baik melalui video, artikel, atau platform pembelajaran online. Ini tentu sangat bermanfaat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tidak memiliki akses mudah ke sekolah.
Kemajuan teknologi membuat siswa semakin terbiasa dengan berbagai platform digital, sementara banyak guru masih mengandalkan metode ceramah dan buku teks. Ketimpangan ini menimbulkan masalah dalam proses belajar: siswa cepat bosan, kurang fokus, dan tidak merasa pembelajaran relevan dengan dunia digital yang mereka kenal (Latif, 2020).
Di sisi lain, guru menghadapi tantangan besar karena dituntut untuk memahami teknologi yang selalu berkembang, beradaptasi dengan paradigma baru pembelajaran, serta terus meningkatkan kompetensi digitalnya (Zebua, 2023). Sayangnya, banyak guru masih belum terbiasa menggunakan media digital seperti video, aplikasi pembelajaran, atau platform e-learning, sehingga inovasi di kelas menjadi terbatas (Husna et al., 2023).
Kondisi ini diperparah oleh data Kemendikbud yang menunjukkan bahwa sebagian guru belum mendapatkan pelatihan TIK secara intensif, sehingga kemampuan digital guru tidak sebanding dengan kebutuhan pembelajaran modern. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara cara belajar siswa yang serba digital dan cara mengajar guru yang masih tradisional.
Masalah ini semakin jelas jika melihat fakta di lapangan. Pada tahun ajaran 2024/2025, tercatat sebanyak 316.167 sekolah di Indonesia telah terhubung internet, namun akses ini belum merata di semua jenjang pendidikan. Khusus pada tingkat sekolah dasar, baru sekitar 77,47% SD yang memiliki akses internet, sehingga masih ada puluhan ribu sekolah yang belum dapat memanfaatkan teknologi secara optimal dalam pembelajaran.
Ketimpangan ini semakin terasa pada sekolah di daerah pedesaan dan terpencil, yang tidak hanya terkendala koneksi internet, tetapi juga masih mengalami keterbatasan infrastruktur dasar seperti listrik yang membuat penggunaan perangkat digital menjadi sulit dilakukan.
Dan ini juga menjadi Salah satu masalah terbesar adalah akses teknologi yang tidak merata. Tidak semua siswa memiliki perangkat yang memadai, seperti laptop atau ponsel pintar, dan belum tentu juga setiap daerah memiliki koneksi internet yang stabil. Ini bisa menjadi masalah besar, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil. Selain itu, penggunaan teknologi juga bisa menimbulkan distraksi (pengalihan). Banyak siswa yang lebih tertarik membuka media sosial daripada fokus pada pembelajaran.
Dalam konteks dunia pendidikan, kesenjangan digital menjadi perhatian penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas pembelajaran yang diterima oleh siswa dan kemampuan mengajar guru. Di era digital saat ini, teknologi telah menjadi bagian integral dari proses belajar-mengajar.
Penggunaan perangkat teknologi seperti komputer, tablet, dan akses internet menjadi sarana penting dalam penyampaian materi pelajaran, komunikasi antara guru dan siswa, serta dalam mencari informasi pendukung pembelajaran.
Metode pembelajaran konvensional itu proses belajar yang berfokus pada ceramah sehingga siswa cenderung menghafal tanpa mengaitkan materi dengan kehidupan nyata. Metode ini memiliki kelebihan, seperti mudah dilaksanakan, bisa diterapkan pada banyak siswa, dan membantu guru menguasai kelas. Namun, kelemahannya cukup besar, misalnya siswa cepat bosan, menjadi pasif, kesulitan memahami materi jika tidak suka mendengar, serta pembelajaran kurang variatif dan tidak melibatkan aktivitas siswa (Gunawan et al., 2020:78).
Masalah ini semakin diperparah oleh adanya Kesenjangan digital di seluruh dunia,yang memiliki implikasi yang mendalam bagi pendidikan, memengaruhi segala hal mulai dari akses ke sumber daya pembelajaran hingga kualitas hasil pendidikan.Secara global, sekitar 463 juta pelajar tidak dapat mengikuti pembelajaran daring karena tidak memiliki akses internet atau perangkat digital, dan 43% siswa di dunia tidak memiliki internet di rumah.
Mereka kehilangan platform pembelajaran interaktif, perpustakaan daring, dan perangkat digital lainnya yang seharusnya dapat meningkatkan pengalaman belajar.Hasil-hasil ini meliputi tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, tekanan lingkungan regional, akses ke layanan kesehatan, dan potensi pendidikan yang memadai bagi generasi mendatang.
Kesenjangan ini semakin parah di daerah pedesaan dan berpenghasilan rendah, di mana sistem sekolah mungkin harus mengatasi kesulitan tambahan berupa buku teks yang ketinggalan zaman dan sumber daya kelas yang terbatas, yang semakin memperlebar kesenjangan pendidikan.
Kondisi seperti ini tentu memperburuk ketidaksetaraan pembelajaran sekaligus mengancam masa depan peserta didik karena siswa yang tertinggal dalam literasi digital berisiko tertinggal pula dalam dunia kerja, teknologi, dan kompetisi global.
Solusi dan Arah perubahan
Perkembangan zaman menuntut pendidikan untuk berubah mengikuti kebutuhan generasi digital. Untuk mengurangi kesenjangan antara siswa yang sudah terbiasa teknologi dan guru yang masih menggunakan cara lama, guru perlu meningkatkan literasi digital. Pelatihan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) yang berkelanjutan sangat penting agar guru dapat membuat pembelajaran lebih kreatif dan relevan, seperti menggunakan video, kuis interaktif, dan modul digital.
Transformasi teknologi membuat pembelajaran menjadi lebih interaktif, tetapi manfaatnya baru terasa jika guru mampu menggunakan teknologi secara kritis dan etis. Di Indonesia, kebutuhan ini semakin terlihat sejak pandemi COVID-19 yang memaksa pembelajaran daring. Meski pelatihan sudah membantu, banyak guru masih kesulitan merancang pembelajaran berbasis teknologi. Padahal, literasi digital yang baik akan membantu guru mengembangkan keterampilan abad ke-21 pada siswa, seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, serta pembentukan karakter positif.
Pengembangan kurikulum abad ke-21 juga perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan perubahan sosial, sehingga mampu memenuhi kebutuhan beragam siswa dan menetapkan tujuan pembelajaran yang relevan secara lokal maupun global. Kurikulum harus memberikan pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai yang dibutuhkan dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung. Untuk mendukung hal tersebut, teknologi perlu diintegrasikan dalam pembelajaran melalui platform digital seperti Google Meet, zoom ,Canva, dan AI tools. Pemanfaatan teknologi ini memungkinkan terwujudnya pembelajaran yang lebih interaktif, kolaboratif, dan berbasis proyek, sehingga siswa tidak hanya menerima materi, tetapi juga aktif terlibat dalam proses belajar dan mampu mengembangkan keterampilan abad ke-21.
Namun adapun Penguatan pendidikan karakter di era digital sangat penting agar siswa tidak hanya mahir menggunakan teknologi, tetapi juga memiliki akhlak dan kepribadian yang baik. Guru perlu membimbing siswa memahami etika digital, seperti menghormati privasi, berkomunikasi secara sopan di media sosial, serta menghindari penyebaran hoaks dan perilaku merugikan seperti cyberbullying. Selain itu, siswa harus dibiasakan memiliki tanggung jawab dalam penggunaan teknologi, misalnya menjaga kejujuran dalam tugas digital, menggunakan perangkat secara disiplin, dan mengikuti aturan penggunaan gadget di sekolah.
Pendidikan juga perlu menekankan penggunaan teknologi secara positif, bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai sarana belajar, berkreasi, dan berkontribusi bagi lingkungan sekitar. Dalam proses ini, guru harus menanamkan nilai-nilai moral seperti kejujuran, empati, kerja sama, dan rasa hormat melalui aktivitas digital yang terarah, seperti proyek kelompok, diskusi online, atau pembuatan konten edukatif. Dengan penguatan karakter yang seimbang ini, siswa akan tumbuh menjadi generasi digital yang cerdas teknologi sekaligus berakhlak baik dan bertanggung jawab.
Studi Kasus dan Inspirasi
menyesuaikan pendidikan dengan kebutuhan generasi digital. Pertama, sejumlah sekolah di Indonesia telah berhasil menerapkan blended learning, di mana pembelajaran tatap muka dipadukan dengan penggunaan aplikasi digital seperti Google Classroom, video pembelajaran, dan kuis interaktif, Ini adalah Beberapa contoh praktik baik dapat menjadi inspirasi bagi sekolah dalam Model ini membuat siswa lebih aktif dan meningkatkan efektivitas belajar.
Kedua, negara seperti Finlandia dan Korea Selatan menunjukkan bagaimana teknologi dapat diintegrasikan secara sistematis dalam pendidikan. Finlandia menekankan pembelajaran kreatif berbasis proyek, sedangkan Korea Selatan memfokuskan pada pemerataan fasilitas digital dan pelatihan intensif guru sehingga pembelajaran lebih modern dan responsif terhadap perkembangan teknologi.
Ketiga, berbagai sekolah juga mengembangkan pembelajaran berbasis teknologi yang tetap menjaga nilai kemanusiaan dan karakter Teknologi digunakan sebagai sarana untuk melatih kerja sama, etika digital, empati, serta kreativitas siswa melalui proyek kelompok, diskusi daring yang sopan, dan pembuatan konten positif. Studi kasus tersebut menunjukkan bahwa teknologi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran apabila didukung oleh guru yang adaptif dan penerapan nilai-nilai karakter yang kuat.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Perkembangan teknologi digital telah mengubah cara anak belajar dan berinteraksi, namun banyak guru masih menggunakan metode konvensional yang tidak sesuai dengan karakter generasi digital. Kesenjangan ini menurunkan minat belajar, membatasi kreativitas siswa, dan membuat proses pembelajaran kurang efektif. Faktor seperti rendahnya literasi digital guru, keterbatasan fasilitas teknologi, serta penggunaan metode ceramah yang dominan semakin memperlebar jurang antara kemampuan digital siswa dan kesiapan guru.
Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, pendidikan perlu bertransformasi. Guru harus meningkatkan kompetensi teknologi melalui pelatihan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) agar mampu menghadirkan pembelajaran interaktif dan relevan. Pemerataan akses teknologi di sekolah sangat penting agar seluruh siswa memiliki kesempatan yang setara dalam proses pembelajaran digital. Kurikulum perlu disesuaikan dengan kebutuhan abad ke-21, menekankan kreativitas, berpikir kritis, kolaborasi, dan pemanfaatan teknologi.
Selain itu, penguatan pendidikan karakter harus menjadi fokus utama. Siswa perlu dibimbing dalam etika digital, tanggung jawab penggunaan teknologi, serta penggunaan perangkat secara positif. Nilai moral seperti kejujuran, empati, kerja sama, dan sopan santun harus terus ditanamkan melalui aktivitas digital yang terarah.Dengan demikian, siswa tidak hanya cerdas teknologi tetapi juga berakhlak dan berperilaku baik,
Studi kasus dari sekolah Indonesia serta inspirasi dari Finlandia dan Korea Selatan menunjukkan bahwa integrasi teknologi yang tepat, pelatihan guru yang kuat, dan perhatian pada karakter dapat meningkatkan kualitas pembelajaran secara signifikan. Dengan langkah-langkah tersebut, pendidikan Indonesia dapat bergerak seirama dengan perkembangan zaman dan mencetak generasi yang unggul, adaptif, dan siap menghadapi tantangan era digital.
Penulis: Syifa Aurellia Putri, Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta













