Masa Depan Demokrasi di Indonesia: Menguat atau Mundur?

Avatar photo
Masa Depan Demokrasi di Indonesia: Menguat atau Mundur?
Ilustrasi proses pemungutan suara dalam kotak suara sebagai simbol partisipasi dalam demokrasi.

EDISIKINI.COM, JAKARTA — Demokrasi di Indonesia mengalami dinamika yang begitu rumit sebelum memasuki era Reformasi 1998. Perjalanan panjang tersebut ditandai oleh pergesekan antara sistem pemerintahan yang demokratis dan kecenderungan otoritarianisme yang semakin kuat. Kita sangat mengenal bahwa era sebelum reformasi adalah era yang sangat sulit untuk mengeluarkan pendapat terkait pemerintah.

Terdapat tiga fase utama dalam sejarah demokrasi pra-Reformasi, yakni masa Demokrasi Parlementer (1950–1959), Demokrasi Terpimpin (1959–1966), dan transisi menuju Orde Baru (1966–1968). Ketiganya menunjukkan pergeseran dari demokrasi yang relatif bebas menuju ke arah sistem politik yang otoriter dan mengekang partisipasi rakyat.

Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam hal kebebasan politik. Semenjak era Reformasi 1998, demokrasi Indonesia telah mengalami perkembangan, terutama dalam hal kebebasan politik, pemilu yang kompetitif, dan peran masyarakat sipil. Era Reformasi ditandai dengan dibukanya ruang kebebasan berpendapat, penguatan supremasi sipil, dan pelaksanaan pemilu yang relatif jujur dan adil.

Namun, dalam dua dekade terakhir, muncul kekhawatiran bahwa demokrasi Indonesia tidak berkembang sesuai harapan. Sejumlah pengamat menilai bahwa kebebasan sipil mengalami kemunduran, dan negara semakin menunjukkan kecenderungan otoriter yang terselubung. Lalu, bagaimana prospek demokrasi Indonesia ke depan? Apakah demokrasi kita akan semakin kuat, atau justru semakin lemah?

Pembahasan

Setelah semakin berkembangnya demokrasi Indonesia pasca era Reformasi, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah tanda-tanda kemunduran demokrasi (democratic backsliding) mulai tampak secara sistematis dalam berbagai aspek kehidupan politik dan hukum di Indonesia. Contoh jelas dalam beberapa waktu terakhir ini adalah kembalinya militer ke dalam politik sipil. Seperti yang kita ketahui Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membuka peluang bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan-jabatan sipil strategis di kementerian dan lembaga non-militer.

Praktik ini mengingatkan kita pada era Orde Baru, di mana terdapat “dwifungsi abri” yaitu peran militer dapat menjadi ganda, yaitu yang pertama sebagai kekuatan pertahanan lalu yang kedua sebagai kekuatan sosial-politik. Menurut laporan Reuters dan Financial Times, Presiden Prabowo Subianto bahkan memperluas peran militer dalam proyek pembangunan nasional, ketahanan pangan, dan logistik sipil. Aksi protes terhadap revisi UU TNI yang terjadi pada Maret 2025 menunjukkan adanya resistensi publik, tetapi pemerintah tetap memaksakan agendanya, memicu kekhawatiran akan hilangnya prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.

Lalu mundur sedikit ke era pasca Covid-19 demokrasi mengalami kemunduran kala disahkannya Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 2022–2023, yang isinya memuat pasal-pasal yang dianggap represif, seperti kriminalisasi penghinaan terhadap pejabat negara, larangan kohabitasi di luar pernikahan, serta pembatasan aksi berdemo tanpa izin. Tentunya hal ini menjadi pemicu masyarakat Indonesia untuk melancarkan protes terkait kemunduran demokrasi ini. Kalangan mahasiswa, aktivis, dan akademisi berbondong-bondong melakukan protes besar.

Penurunan indeks demokrasi Indonesia secara global juga menegaskan adanya kemunduran ini. Studi “Reformasi Reversal” (2023) menyoroti bagaimana hukum dan aparat negara digunakan untuk membungkam oposisi dan mempersempit ruang kritik, yaitu ditandai dengan adanya kemunduran dari semangat reformasi. Sementara itu, jurnal “Challenges Post‑2024” (2025) memprediksi bahwa dalam lima tahun mendatang, Indonesia akan menghadapi penurunan kualitas demokrasi yang lebih dalam jika kecenderungan otoritarianisme ini terus dibiarkan tanpa koreksi institusional.

Kemunduran demokrasi juga tercermin dalam dinamika pemilu. Pemilu yang seharusnya menjadi ajang kontestasi ide dan visi, justru kerap diwarnai politik uang, kampanye negatif, serta dominasi oligarki politik. Dalam laporan Indeks Demokrasi Indonesia (BPS, 2023), kualitas proses pemilu dan partisipasi politik dinilai masih rendah, terutama di aspek inklusivitas dan representasi perempuan serta kelompok rentan.

Namun demikian, tidak semua aspek demokrasi Indonesia menunjukkan kemunduran secara menyeluruh. Meskipun tekanan terhadap kebebasan sipil meningkat, masyarakat sipil tetap menunjukkan perannya dalam memperjuangkan ruang-ruang demokratis. Contoh nyata nya adalah gerakan #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019. Gerakan ini awalnya berasal dari penolakan terhadap revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang dianggap melemahkan independensi lembaga antikorupsi tersebut.

Namun,, gerakan ini meluas ke berbagai kota besar, melibatkan ribuan mahasiswa, akademisi, jurnalis, hingga pelajar SMA. Tuntutan mereka tidak hanya sebatas UU KPK, tetapi juga kepada RKUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Pemasyarakatan yang dinilai tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Gerakan ini menunjukkan bahwa partisipasi politik tidak lagi terbatas pada saluran elektoral formal, tetapi juga melalui aksi kolektif di ruang publik dan digital.

Berbicara tentang ruang digital, pada saat ini platform digital menjadi hal yang penting dalam perjuangan demokrasi. Platform media sosial seperti Twitter (sekarang X), Instagram, hingga TikTok dimanfaatkan secara luas untuk menyuarakan kritik, menyebarkan informasi, dan membangun solidaritas. Hal ini mencerminkan pergeseran pola partisipasi demokrasi dari yang tadinya konvensional menuju ke arah yang lebih fleksibel dan berbasis jaringan.

Saat ini media alternatif seperti Watchdoc, Narasi, dan sejumlah kanal YouTube independen turut memperkuat ruang demokrasi. . Mereka berperan penting dalam mengedukasi masyarakat serta konten kontennya tak jarang yang mengkritisi kebijakan penerintah, serta menumbuhkan kesadaran politik warga.

Penutup

Masa depan demokrasi Indonesia berada di jalur persimpangan. Di satu sisi, struktur demokrasi formal masih berjalan, seperti pemilu rutin diadakan, lembaga negara masih melaksanakan perannya dengan semestinya, dan masyarakat sipil masih aktif. Namun di sisi lain, gejala kemunduran demokrasi tampak nyata, yaitu kebebasan sipil ditekan, ruang kritik menyempit, dan oligarki politik semakin kuat.

Demokrasi Indonesia belum sepenuhnya gagal, tetapi tengah menghadapi regresi serius. Harapan masa depan demokrasi Indonesia akan tetap ada, selama rakyat terus bersuara dan menjaga ruang-ruang kebebasan yang ada. Untuk memperkuat demokrasi Indonesia kedepannya, dibutuhkan konsistensi dalam penegakan hukum yang adil, penguatan lembaga pengawas independen, serta partisipasi publik yang lebih bermakna.

Referensi

  • Amnesty International Indonesia. (2019). Reformasi Dikorupsi: Gelombang Unjuk Rasa Mahasiswa 2019https://www.amnesty.id
  • Financial Times. (2024, December 10). Indonesia’s new penal code and the fight for freedoms. https://www.ft.com
  • Wahidin, D., & Nurfebriansyah, D. (2025). Challenges to democracy post-2024 election in Indonesia: Between civil resistance and elite consolidation. Journal of Southeast Asian Politics, 12(1), 45–61. https://tandfonline.com

Penulis: Nur Hindriana Wulandari (1401622025), Mahasiswa Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com