EDISIKINI.COM, JAKARTA — Sejak era Reformasi 1998, Indonesia menikmati kebebasan politik yang tak terbayangkan pada masa Orde Baru, seperti berpendapat dan pers terasa lebih “bebas” dari sebelum sebelumnya, revolusi di berbagai hal, dan lain lainnya. Namun, di balik kebebasan itu terpatri fakta bahwa kedaulatan rakyat kerap digadaikan oleh elit politik dan ekonomi.
Revisi Undang‑Undang KPK yang melemahkan lembaga anti‑korupsi, ribuan laporan UU ITE terhadap jurnalis dan aktivis (ada beberapa pasal karet/multitafsir yang sering dijadikan sebagai pedang untuk menjerat para jurnalis dan aktivis ke ranah hukum), serta pengesahan omnibus law Cipta Kerja yang memicu protes mahasiswa dan buruh, menjadi bukti betapa opsi kebijakan acapkali ditentukan oleh kepentingan segelintir pihak bukan aspirasi publik.
Pertanyaan krusial muncul, bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia? Akankah mekanisme partisipasi semakin diperkuat, atau justru diresapi oleh praktik ‘demokrasi semu’ yang hanya menjadikan rakyat sebagai korban kebijakan top‑down? Fenomena politik dinasti yang merajalela di beberapa daerah (bahkan di pemerintahan tertinggi, berdasarkan pemilu 2024), serta maraknya arus informasi menyesatkan (“hoaks”) di media sosial (yang juga banyak dibuat oleh buzzer politk) , semakin memperlemah kapasitas warga untuk memilih wakil yang benar‑benar merepresentasikan suara mereka.
Kekacauan hoax ini menjadi semakin berkembang di era teknologi ini, generasi x dan boomer menjadi korban empuk para buzzer. Di satu sisi, gerakan mahasiswa, LSM, dan jurnalis independen terus memaksa ruang kebebasan berpendapat, di sisi lain, cetak biru kebijakan nasional seringkali disusun di balik pintu tertutup, menegaskan kesan bahwa kedaulatan tetap milik elit. Menimbang segala dinamika ini, prospek demokrasi kita berada di persimpangan, apakah momentum kebebasan pasca‑1998 akan terus melaju, atau justru mengalami kemunduran yang berbahaya?
Melalui tulisan ini, saya akan membahas demokrasi di Indonesia yang pada praktiknya terasa seperti milik elite politik, padahal di Undang Undang Dasar tertulis bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Sekaligus harapannya terhadap demokrasi di Indonesia pada masa mendatang yang penuh harapan.
Bayangkan Anda berdiri di pelataran Merdeka, menyaksikan keputusan politik besar lahir namun apakah suara Anda benar‑benar didengar? dengan pertanyaan ini, kita memasuki inti pembahasan yaitu, sejauh mana demokrasi Indonesia pasca‑1998 tumbuh kokoh atau justru tergerus oleh kepentingan elit?
Sejak reformasi, mekanisme partisipasi publik seperti pemilihan umum langsung dan keterbukaan informasi sempat memberi harapan. Namun realitas tak sepenuhnya ideal. Revisi UU KPK tahun 2019 melemahkan otoritas lembaga antikorupsi dan memunculkan anggapan kompromi politik untuk melindungi pejabat korup omnibus law Cipta Kerja (2020) yang disahkan terburu‑buru tanpa konsultasi publik memicu gelombang unjuk rasa mahasiswa dan buruh; serta ratusan ribu kasus sengketa pencemaran nama baik di bawah UU ITE menunjukkan instrumen hukum kerap dipakai menekan kebebasan pers dan aktivis.
Fakta ini mengindikasikan adanya kemunduran: kedaulatan rakyat kerap tunduk pada kekuatan modal politik dan ekonomi. Di sisi lain, kekuatan demokrasi tetap terlihat dari bangkitnya gerakan sipil. Gelombang aksi “Reformasi Dikorupsi” pada 2019, wacana pembentukan Dewan Pengawas KPK, serta inisiatif “Omnibus Law Watch” oleh berbagai LSM menandakan masyarakat semakin kritis dan terorganisir. Di ranah digital, platform pengawasan anggaran publik (misalnya KawalPemilu.org) dan kampanye anti hoaks (turnamen literasi digital oleh Mafindo) memperkuat kesadaran politik warga. Jika momentum ini dijaga, demokrasi punya potensi semakin mengakar.
Namun, tanpa reformasi struktural, tren otokratisasi halus bisa terus berlanjut. Solusinya harus bersifat multilapis: pertama, memperkuat independensi lembaga penegak hukum dan peradilan melalui revisi pasal‑pasal yang mereduksi kewenangan KPK dan MK. Kedua, reformasi UU ITE agar norma kebebasan berpendapat dilindungi, termasuk batasan jelas pada pasal karet.Ketiga, penerapan partisipasi publik dalam proses legislasi misalnya RUU harus melewati mekanisme public hearing daring dan luring yang transparan;. Kempat, pendidikan politik dan literasi media di sekolah dan universitas untuk membentengi warga dari disinformasi. Kelima, pembatasan politik dinasti dengan aturan term‑limits lebih ketat.
Menjawab pertanyaan “apakah demokrasi akan semakin kuat atau justru mengalami kemunduran?”jawabannya bergantung pada sejauh mana upaya kolektif masyarakat, lembaga negara, dan elit politik bersinergi mereformasi sistem. Bila ruang partisipasi dan kontrol sipil terus diperluas, demokrasi Indonesia bisa lebih solid; namun bila regulasi represif dan elitisme dibiarkan berkuasa, kemunduran demokrasi bukan sekadar kemungkinan, melainkan ancaman nyata.

Sebagai kesimpulan, jelas bahwa demokrasi Indonesia pasca‑Reformasi 1998 menghadapi dua arus yang saling tarik‑menarik: di satu sisi, semangat partisipasi publik dan gerakan sipil yang semakin terorganisir, di lain sisi, praktik regulasi represif dan dominasi elit politik‑ekonomi yang berpotensi menggerus kebebasan. Revisi UU KPK, Omnibus Law Cipta Kerja, dan penyalahgunaan UU ITE merupakan peringatan bahwa tanpa upaya konsisten untuk mereformasi struktur kelembagaan, kedaulatan rakyat bisa terus terpinggirkan.
Menjawab pertanyaan “apakah demokrasi akan semakin kuat atau justru mengalami kemunduran?”, jawabannya bergantung pada komitmen kolektif semua pemangku kepentingan. Jika masyarakat sipil, media independen, akademisi, dan penguasa bersinergi memperkuat transparansi legislasi, menjaga independensi lembaga penegak hukum, serta meningkatkan literasi politik dan digital maka demokrasi kita berpeluang tumbuh lebih kokoh. Sebaliknya, jika tekanan regulasi otoriter halus dibiarkan merajalela, kita berisiko kembali pada “demokrasi semu” yang hanya menampilkan topeng kebebasan.
Oleh karena itu, juga sangat penting bagi setiap warga negara untuk aktif mengawal proses politik, menuntut akuntabilitas, dan memperjuangkan ruang publik yang inklusif. Hanya dengan demikian kedaulatan sejati yakni kekuasaan di tangan rakyat—bisa terwujud dan demokrasi Indonesia akan berlanjut sebagai sistem yang responsif, adil, dan berkelanjutan.
Penulis: Joys Alfredo Marpaung (1401622035)