EDISIKINI.COM, TANGERANG – Pagi itu, 3 Februari 2025, sebuah kabar duka datang dari sebuah gang kecil di Pamulang Barat, Tangerang Selatan. Seorang nenek berusia 62 tahun bernama Yonih binti Saman meninggal dunia tak lama setelah kembali dari mengantri gas elpiji 3 kilogram. Ia baru saja menenteng dua tabung gas pulang dari pangkalan. Langkahnya tak lagi kuat, tubuhnya lemas, dan ia terjatuh di jalan sebelum sempat masuk ke rumah. Keluarga membawanya ke fasilitas kesehatan, namun nyawanya tidak tertolong. Peristiwa ini bukan semata soal kesehatan pribadi, ini adalah kisah tentang beban hidup rakyat kecil yang kerap dipaksa kuat oleh sistem yang tak peka.
Kala itu, masyarakat di berbagai daerah mengalami kelangkaan gas elpiji bersubsidi, menyusul kebijakan pembatasan distribusi hanya sampai pangkalan, serta pembaruan sistem digital yang belum sepenuhnya siap. Pemandangan antrean panjang di depan agen elpiji menjadi hal lumrah. Bagi sebagian orang, ini hanyalah persoalan logistik. Namun bagi mereka yang tak punya kendaraan, hidup di gang sempit, atau berusia lanjut, setiap tabung gas adalah perjuangan. Dan dalam kasus Ibu Yonih, perjuangan itu berujung pada kepergian yang seharusnya tak perlu terjadi.
Ironisnya, gas elpiji 3 kilogram adalah bentuk perlindungan sosial yang diciptakan negara untuk masyarakat miskin. Tapi dalam pelaksanaannya, justru kelompok paling lemah yang paling rentan terdampak saat sistem terganggu. Pemerintah memang segera merespons: operasi pasar digelar, pasokan ditambah, bahkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik atas insiden ini.
“Sebagai pemerintah, kami memohon maaf atas kejadian ini. Penertiban ini semata-mata dilakukan untuk penataan yang lebih baik. Kami akan segera melakukan perbaikan,” ungkap Bahlil di daerah Kemanggisan, Jakarta Barat, pada Selasa (4/2/2025). Namun, permintaan maaf tidak cukup menghapus duka. Koreksi tak bisa menggantikan nyawa. Dan yang lebih menyedihkan: peristiwa ini bukan yang pertama, dan belum tentu yang terakhir.
Tragedi Ibu Yonih menjadi simbol bahwa akses terhadap energi rumah tangga tak semestinya menjadi pertaruhan. Satu tabung gas seharusnya tidak harus ditukar dengan rasa sakit, risiko kesehatan, apalagi kehilangan nyawa. Pemerintah perlu memastikan bahwa distribusi subsidi tidak hanya tepat sasaran, tetapi juga manusiawi. Data penerima manfaat perlu diperbarui dan diawasi. Mekanisme penyaluran perlu dirancang dengan mempertimbangkan kondisi di lapangan, terutama bagi warga lansia, difabel, dan mereka yang hidup di kawasan padat dan sulit akses.
Sekarang, beberapa bulan telah berlalu. Berita tentang Ibu Yonih mungkin telah memudar dari ingatan publik. Tapi kita tidak boleh melupakannya. Karena dalam satu nyawa yang hilang, tersimpan pelajaran penting bahwa sistem yang gagal melindungi yang paling lemah adalah sistem yang perlu ditinjau ulang. Jangan tunggu antrean berikutnya membawa kabar serupa. Jadikan kisah ini sebagai titik balik, bukan sekadar kilas balik.
Penulis: Raisa Firstia