Tes Kemampuan Akademik: Evaluasi Seleksi dan Tantangan Pendidikan Masa Kini

Avatar photo
Tes Kemampuan Akademik: Evaluasi Seleksi dan Tantangan Pendidikan Masa Kini
Seorang peserta ujian tampak fokus mengerjakan soal di ruang ujian berbasis komputer. Ilustrasi ini menggambarkan suasana pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari proses seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia.

EDISIKINI.COM — Tes Kemampuan Akademik (TKA) merupakan bagian integral dalam proses seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Indonesia, khususnya melalui jalur Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK). TKA dirancang untuk menguji penguasaan materi bidang studi sesuai jurusan yang dipilih, seperti Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Geografi, dan Bahasa Indonesia.

Tidak seperti Tes Potensi Skolastik (TPS) yang mengukur kemampuan kognitif umum, TKA lebih menitikberatkan pada kompetensi akademik peserta didik berdasarkan kurikulum sekolah menengah. Dalam konteks ini, TKA berfungsi sebagai indikator kesiapan akademik calon mahasiswa untuk memasuki jenjang pendidikan tinggi, sekaligus menjadi alat seleksi berdasarkan prestasi objektif.

Namun, posisi TKA sebagai instrumen seleksi nasional bukan tanpa tantangan. Di balik perannya yang strategis, muncul pertanyaan mengenai relevansi, keadilan, dan dampaknya terhadap ekosistem pendidikan secara lebih luas.

Ketimpangan Akses dan Tantangan Pemerataan

Salah satu kritik yang cukup sering disampaikan terkait TKA adalah adanya kesenjangan akses antar peserta didik. Siswa dari sekolah dengan sumber daya yang terbatas cenderung mengalami kesulitan dalam mengakses pembelajaran yang optimal, apalagi jika dibandingkan dengan mereka yang berasal dari sekolah unggulan atau mengikuti bimbingan belajar privat.

Ketimpangan ini menjadikan TKA bukan hanya sebagai alat ukur kemampuan individual, tetapi juga merefleksikan ketidaksetaraan sistem pendidikan itu sendiri. Dalam konteks ini, TKA berpotensi memperkuat privilese struktural dan melemahkan prinsip keadilan dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

Oleh karena itu, penyelenggara seleksi perlu mempertimbangkan cara-cara agar TKA tidak menjadi penghalang bagi kelompok rentan, seperti dengan memperluas akses pelatihan daring gratis, penyediaan soal latihan yang inklusif, serta peningkatan kapasitas guru-guru di daerah tertinggal.

Tekanan Kompetitif dan Dampak Psikologis

TKA juga menempatkan siswa dalam situasi kompetitif yang cukup intens. Persaingan untuk masuk ke program studi favorit dengan daya tampung terbatas sering kali membuat peserta didik merasa tertekan secara mental. Beban psikologis ini diperkuat oleh ekspektasi sosial dan keluarga, yang menganggap kelulusan di perguruan tinggi negeri sebagai tolok ukur utama keberhasilan.

Meski persaingan dalam seleksi masuk perguruan tinggi merupakan hal yang wajar, pendekatan yang terlalu berorientasi pada hasil ujian dapat mengabaikan dimensi kesejahteraan emosional peserta didik. Dalam jangka panjang, hal ini berisiko menurunkan motivasi intrinsik siswa dalam belajar dan menjadikan proses belajar sebagai beban, bukan kebutuhan.

Untuk itu, lembaga pendidikan perlu berperan aktif dalam mempersiapkan siswa tidak hanya secara akademik, tetapi juga dari sisi mental. Bimbingan konseling, pelatihan manajemen stres, dan pendekatan pembelajaran yang lebih humanistik bisa menjadi solusi agar proses persiapan TKA tidak menimbulkan tekanan berlebihan.

Relevansi Materi TKA dan Tantangan Kurikulum

Secara substantif, TKA masih berbasis pada penguasaan konten sesuai kurikulum SMA. Namun, muncul pertanyaan: sejauh mana soal-soal TKA mencerminkan kebutuhan dunia perguruan tinggi dan dunia kerja saat ini? Apakah penguasaan materi semata cukup sebagai prediktor keberhasilan studi di tingkat lanjut?

Perubahan zaman yang ditandai dengan berkembangnya teknologi, ekonomi digital, dan kebutuhan lintasdisiplin menuntut pendekatan seleksi yang lebih holistik. Di sinilah pentingnya meninjau kembali isi TKA agar tidak hanya mengukur hafalan atau penguasaan rumus, melainkan juga keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan analisis kontekstual.

Integrasi elemen Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam TKA merupakan langkah yang sudah mulai diterapkan, namun masih memerlukan evaluasi rutin agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.

Menempatkan TKA dalam Kerangka Pendidikan Nasional

TKA, pada akhirnya, tidak bisa dilepaskan dari kondisi sistem pendidikan nasional secara keseluruhan. Ia bukan hanya soal ujian masuk perguruan tinggi, tetapi cerminan bagaimana proses belajar-mengajar berjalan selama 12 tahun sebelumnya. Jika pembelajaran masih bersifat repetitif dan berorientasi pada ujian, maka peserta didik akan cenderung belajar demi nilai semata.

Sebaliknya, jika proses pendidikan mengedepankan pemahaman, kolaborasi, dan rasa ingin tahu, maka peserta akan lebih siap menghadapi tantangan seleksi apapun, termasuk TKA. Oleh karena itu, pembenahan sistem seleksi seharusnya berjalan paralel dengan reformasi kurikulum dan peningkatan kualitas guru.

Penutup: Mengembalikan Makna Pendidikan

Tes Kemampuan Akademik merupakan salah satu bagian dari sistem seleksi yang sah dan diperlukan. Namun, penting untuk disadari bahwa TKA bukanlah satu-satunya penentu masa depan. Pendidikan adalah proses jangka panjang yang membentuk karakter, kompetensi, dan kesadaran kritis seseorang.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak—baik penyelenggara, pendidik, siswa, maupun orang tua—untuk menempatkan TKA secara proporsional. Ia penting, tetapi bukan segalanya. Evaluasi terhadap TKA harus dilakukan secara berkelanjutan agar sistem seleksi masuk perguruan tinggi dapat berjalan secara adil, adaptif, dan manusiawi.

Dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian, pendidikan harus melahirkan generasi yang siap belajar sepanjang hayat, bukan hanya generasi yang berhasil menembus soal-soal seleksi.

Penulis: Reza Firdaus

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com