Studi Lapangan Mahasiswa Universitas Mercu Buana pada Interaksi Harmonis dalam keberagaman Agama dan Budaya di Pecinan Glodok

Avatar photo
Studi Lapangan Mahasiswa Universitas Mercu Buana pada Interaksi Harmonis dalam keberagaman Agama dan Budaya di Pecinan Glodok

EDISIKINI.COM, JAKARTA — Pada Rabu (01/01/2025), penulis selaku mahasiswa dari Universitas Mercu Buana Jakarta dengan mata kuliah umum Pancasila (Dosen Pengampu : Dr Rosmawaty Hilderiah Pandjaitan, S.Sos., M.T., CPR., CICS) melakukan kunjungan ke Pecinan Glodok yang berada di Jakarta Barat. Penulis terdiri dari 5 orang yaitu, Fitri Novita Sari, Yunita Fitriyani, Aisyah Fauziah, Tita Nayla Meliandra, dan Zahra Aulia. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk memahami secara langsung bagaimana interaksi harmonis dalam keberagaman agama dan budaya dapat tercipta di salah satu kawasan paling bersejarah di Jakarta.

Pecinan Glodok, yang terletak di Jakarta Barat, merupakan kawasan yang sarat dengan nilai sejarah dan keberagaman budaya dan agama di Indonesia. Kawasan ini terkenal dengan pengaruh budaya tionghoa yang kental, tetapi juga menjadi tempat bagi berbagai budaya dan tradisi budaya lainnya.

Sejak abad ke-17, kawasan ini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan budaya Tionghoa di Jakarta. Pecinan Glodok terkenal dengan pengaruh budaya Tionghoa yang kuat, namun juga menjadi rumah bagi komunitas dari berbagai latar belakang etnis dan agama, termasuk Betawi dan Arab. Kawasan ini telah menjadi tempat bertemunya berbagai budaya dan tradisi, menciptakan interaksi sosial yang dinamis dan inklusif. Keberagaman ini telah menciptakan interaksi sosial yang unik dan dinamis di antara penduduknya.

Sebagai pusat perdagangan, pasar ini menjadi tempat bertemunya berbagai etnis dan agama yang bekerja sama dalam aktivitas ekonomi. Interaksi sehari-hari di pasar ini menciptakan lingkungan yang inklusif dan toleran.

Kunjungan penulis ke Pecinan Glodok memiliki relevansi dengan penerapan nilai-nilai yang terkandung pada sila-sila Pancasila. Pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, tercermin ajaran bahwa seluruh bangsa Indonesia harus saling menghargai dengan hidup berdampingan dari keberagaman agama, budaya, dan adat yang ada di Indonesia.

Baca juga:  Ini dia Pengucapan Membingungkan Bahasa Inggris

Pecinan Glodok merupakan contoh nyata dari keberagaman budaya yang menjadi kesatuan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Potret Petak Enam.

Destinasi yang pertama kali penulis kunjungi adalah Petak Enam yang terletak di seberang Pancoran Chinatown Point.

Petak Enam dikenal sebagai tempat yang ramai dengan aktivitas ekonomi dan sosial. Petak Enam juga dikenal sebagai surga kuliner bagi para pengunjung yang ingin mencicipi berbagai hidangan khas daerah tersebut. Di sini, penulis dapat menikmati berbagai jenis makanan, baik yang halal maupun non-halal, yang menggugah selera.

Pasar ini bukan hanya menjadi tempat berbelanja, tetapi juga menawarkan pengalaman budaya yang kaya. Di sini, pengunjung dapat menemukan berbagai makanan khas Tionghoa, seperti kue keranjang, bakpao, dan bakmi. Selain makanan, Petak Sembilan juga menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari, obat-obatan tradisional, dan pernak-pernik khas Tionghoa. Atmosfer pasar yang ramai dan warna-warni menjadikannya destinasi yang menarik untuk dikunjungi, terutama saat perayaan Imlek.

Keberagaman kuliner ini mencerminkan inklusivitas dan toleransi yang ada di Pecinan Glodok, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Dengan adanya keanekaragaman budaya di Indonesia inilah yang menjadi sumber kreativitas masyarakat Indonesia, seperti melahirkan gabungan dari beberapa budaya.

Hal ini menjadi upaya bagi masyarakat Indonesia dalam menghadapi keanekaragaman dan menjadikan masyarakat Indonesia memiliki sikap toleransi atas setiap perbedaan/keanekaragaman yang dimiliki oleh Indonesia.

Vihara Dharma Sakti.

Destinasi kedua yang penulis kunjungi adalah Vihara Dharma Sakti yang berada di Petak Sembilan. Vihara Dharma sakti adalah salah satu tempat ibadah tertua di Jakarta, didirikan pada tahun 1650. Vihara ini memiliki peran penting sebagai pusat spiritual bagi umat Buddha dan Tao, serta menyimpan nilai sejarah dan budaya yang mendalam. Vihara ini digunakan untuk kegiatan keagamaan, selain itu juga menjadi destinasi bagi pengunjung dari berbagai agama yang ingin mengenal tradisi Tionghoa, termasuk mempelajari bahasa dan budaya.

Baca juga:  Pentingnya Cerdas Bermedia, Mahasiswa KKN UNDIP Gelar Edukasi Pentingnya Literasi Digital kepada Ibu-Ibu PKK dan Karang Taruna Desa Tegalmade

Vihara ini menjadi lokasi utama dalam perayaan Imlek setiap tahunnya. Suasana perayaan yang meriah, seperti dekorasi khas, barongsai, dan upacara sembahyang leluhur, menarik banyak pengunjung lintas agama yang turut menikmati keindahan tradisi tersebut. Vihara  ini merepresentasikan hubungan harmonis antara berbagai budaya dan agama di Jakarta, menjadikannya simbol toleransi.

Seperti pada sila ketiga “Persatuan Indonesia,” tercermin dalam keberagaman etnis dan agama yang hidup berdampingan secara harmonis di wilayah ini. Vihara Dharma Sakti menjadi simbol kerukunan antarumat beragama dan pelestarian budaya yang kaya di tengah arus modernisasi.

Foto Vihara Dharma Jaya.

Terakhir, Destinasi ketiga yang penulis kunjungi adalah Vihara Dharma Jaya, atau yang biasa di kenal juga sebagai Toa Se Bio. Vihara ini merupakan vihara tertua di Jakarta yang didirikan pada abad ke-18, vihara ini didedikasikan untuk dewa Toa Se Bio dan merupakan pusat aktivitas keagamaan dan budaya bagi umat Konghucu dan Tao di Jakarta. Vihara ini dikenal karena arsitektur tradisionalnya yang indah, dengan ukiran dan dekorasi yang kaya akan makna simbolis.

Sama seperti Vihara Dharma Sakti, tempat ini berfungsi sebagai lokasi ibadah utama bagi umat Buddha dan Tao, sekaligus menjadi lambang kerukunan antar umat beragama di kawasan Glodok.

Selain itu, keberadaannya mencerminkan perjalanan panjang akulturasi budaya Tionghoa di Jakarta. Vihara Toa Se Bio kerap menyelenggarakan acara seperti bazar dan perayaan budaya yang melibatkan masyarakat dari berbagai agama. Aktivitas ini mempererat hubungan antar umat beragama sekaligus memperlihatkan bahwa budaya bisa menjadi alat pemersatu. Dengan itu, vihara ini juga menunjukkan pentingnya menghormati tradisi dan kebudayaan, sesuai dengan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” yang menekankan pentingnya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi semua.

Baca juga:  Perkiraan Jarak untuk Lari yang Harus Diketahui

Seperti yang di sampaikan oleh Bapak Hardianto Wijaya selaku Bapak Pengurus Vihara Toa Se Bio, menurutnya, “belajar agama lain merupakan langkah penting untuk memahami keberagaman dan mempererat persatuan di Indonesia. Kalo ada yang mau belajar, kasih dia kesempatan untuk dia mengerti. Keberagaman agama di Indonesia kan kekayaan yang harus kita pelajari dan rayakan. Saya sendiri sudah memperlajari 5 agama dan gak ada satupun dari agama yang saya pelajari itu tidak benar, semua benar dan baik. Hanya tergantung dari bagaimana kitanya. Jadi teruskan saja dan pertahankan.”

Dengan ini, melalui kunjungan penulis ke Pecinan Glodok, kita semua jadi tau bahwa Pecinan Glodok adalah cerminan nyata dari semangat Bhinneka Tunggal Ika dan nilai-nilai luhur Pancasila, terutama sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Di kawasan ini, berbagai agama dan kepercayaan hidup berdampingan dengan harmonis, mencerminkan toleransi dan rasa saling menghormati yang kuat di antara warganya.

Dalam konteks Pancasila, Glodok mengajarkan kita bahwa keberagaman adalah kekuatan yang memperkuat persatuan bangsa. Dengan menghormati dan menghargai perbedaan, kita bisa membangun masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis. Pecinan Glodok, dengan segala sejarah dan budayanya, menjadi bukti hidup bahwa nilai-nilai Pancasila dapat diwujudkan dalam bentuk nyata, menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera bagi semua.

Inilah esensi dari Pancasila yang perlu kita jaga dan teruskan, agar keberagaman yang ada di Indonesia selalu menjadi sumber kekuatan dan kebanggaan bersama. Dengan menjaga dan menghormati keberagaman, Glodok terus menjadi simbol toleransi dan persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com