Membangun Masa Depan Demokrasi yang Tangguh di Tengah Arus Populisme dan Polarisasi Politik

Avatar photo
Membangun Masa Depan Demokrasi yang Tangguh di Tengah Arus Populisme dan Polarisasi Politik
Ilustrasi demonstrasi dan suara publik yang menggema di tengah pusaran populisme dan polarisasi. Sumber: Markus Spiske / Pexels

EDISIKINI.COM, JAKARTA — Demokrasi di Indonesia, sejak gerakan Reformasi 1998, telah mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Sistem demokrasi yang awalnya dibangun atas dasar partisipasi rakyat, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia, kini menghadapi tantangan serius dari dalam. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia dihadapkan pada fenomena global yang turut memengaruhi iklim politik nasional, yaitu bangkitnya populisme dan meningkatnya polarisasi politik.

Populisme, dengan gaya retoris yang mengklaim berbicara atas nama “rakyat biasa” sambil menyerang elite atau kelompok tertentu, telah menjadi alat strategis dalam kontestasi politik. Sementara itu, polarisasi politik memperuncing perbedaan pandangan hingga merusak ikatan sosial dan menurunkan kualitas deliberasi public (Aminuddin & Prasetyawan, 2022).

Fenomena ini bukan hanya terjadi di tingkat elite politik, tetapi juga merembes ke akar rumput masyarakat, diperparah oleh penyebaran informasi yang cepat di media sosial tanpa filter yang memadai. Di satu sisi, demokrasi menjanjikan kebebasan dan partisipasi yang luas, namun di sisi lain, demokrasi juga rentan terhadap manipulasi emosional dan eksploitasi isu identitas oleh aktor-aktor politik yang berkepentingan.

1. Populisme dan Ancaman terhadap Rasionalitas Demokrasi

Populisme dalam konteks Indonesia pascareformasi tidak dapat dilepaskan dari kemunculan tokoh-tokoh politik yang mampu menggalang dukungan berbasis sentimen emosional, bukan berdasarkan program kerja yang substansial. Dalam praktiknya, populisme berpotensi merusak proses demokratis karena mengabaikan prinsip deliberasi rasional, menggantinya dengan retorika yang mengandung provokasi, ujaran kebencian, atau bahkan disinformasi.

Fenomena seperti ini terlihat dalam kampanye-kampanye politik yang menjual slogan dan citra tanpa diiringi kebijakan konkret. Media sosial memperparah situasi ini dengan algoritma yang memperkuat bias individu dan menciptakan gelembung informasi (echo chamber). Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat pertukaran ide menjadi medan pertarungan emosi dan hoaks. Demokrasi, dalam iklim seperti ini, berisiko tereduksi menjadi sekadar ritual pemilu lima tahunan tanpa penguatan kapasitas warga negara sebagai aktor deliberatif (Wingarta et al., 2021).

Potret kerumunan massa dalam balutan hitam-putih, simbol dari masyarakat yang terbelah oleh polarisasi politik. Sumber: Amine M’siouri / Pexels

2. Polarisasi Politik dan Retaknya Kohesi Sosial

Pola polarisasi di Indonesia banyak dipicu oleh politisasi identitas, terutama agama dan etnis, dalam kontestasi elektoral. Peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi titik balik meningkatnya fragmentasi masyarakat berdasarkan afiliasi ideologis dan kepercayaan. Polarisasi yang sebelumnya hanya terasa di kalangan elite, kini nyata di tengah masyarakat melalui narasi “kita vs mereka” yang mengakar kuat di media sosial dan bahkan ruang-ruang keluarga dan komunitas.

Akibat dari polarisasi ini bukan hanya menurunnya kualitas diskursus publik, tetapi juga melemahkan kepercayaan antarwarga negara. Demokrasi membutuhkan solidaritas sosial sebagai perekat, karena tanpa rasa saling percaya dan toleransi, partisipasi politik hanya akan melahirkan konflik dan segregasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menurunkan legitimasi sistem demokrasi dan mendorong munculnya tuntutan akan sistem otoriter yang “lebih tegas” sebagai solusi atas ketidakstabilan (Sari, 2025).

3. Strategi Membangun Demokrasi yang Tangguh

Untuk memastikan masa depan demokrasi Indonesia tetap kuat di tengah gempuran populisme dan polarisasi, dibutuhkan pendekatan multidimensi. Pertama, pendidikan politik harus diperkuat mulai dari level pendidikan dasar hingga dewasa. Literasi politik tidak hanya sebatas mengenal sistem pemilu, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis, mengenali disinformasi, dan memahami nilai-nilai konstitusional.

Kedua, media harus memainkan peran yang lebih etis dan konstruktif. Platform digital perlu diajak bekerja sama untuk mendorong penyebaran informasi yang akurat dan membatasi konten yang memecah belah. Penguatan regulasi tanpa membatasi kebebasan pers adalah kunci untuk menyeimbangkan hak publik dan tanggung jawab sosial.

Ketiga, partai politik sebagai pilar demokrasi harus direformasi. Mereka tidak boleh hanya menjadi kendaraan elektoral, tetapi juga sekolah kaderisasi politik yang memperjuangkan aspirasi rakyat dengan cara yang adil, dan transparan. Politik gagasan harus dikembalikan sebagai basis utama kompetisi elektoral.

Keempat, masyarakat sipil harus diberdayakan. Organisasi masyarakat, komunitas lokal, dan aktivis harus mendapat ruang yang cukup untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Demokrasi yang tangguh hanya bisa dibangun jika rakyat diberi kepercayaan dan kesempatan untuk ikut menentukan arah bangsa (Dewi & Sunarso, 2020).

Kesimpulan

Masa depan demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa ini merespons tantangan-tantangan yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Populisme dan polarisasi politik adalah gejala krisis kepercayaan yang tidak bisa diabaikan. Keduanya merupakan ancaman nyata terhadap rasionalitas, solidaritas, dan keberlanjutan demokrasi. Namun demikian, tantangan ini bukanlah akhir dari segalanya.

Demokrasi Indonesia masih memiliki potensi besar untuk tumbuh menjadi lebih matang dan tangguh, asalkan ada komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa untuk memperkuat institusi demokrasi, membangun masyarakat yang sadar politik, dan mendorong partisipasi aktif yang sehat. Upaya ini harus dimulai dari membangun kembali ruang publik yang rasional, merawat keberagaman sebagai kekuatan, dan menolak segala bentuk manipulasi politik berbasis emosi sempit dan identitas.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, M. F., & Prasetyawan, W. (Eds.). (2022). Pasang Surut Demokrasi: Refleksi Politik Indonesia 1999-2019. LP3ES.

Dewi, D. K., & Sunarso, S. (2020). Strategi Pembentukan Ketahanan Pribadi Siswa Berbasis Nilai-Nilai Pancasila untuk Membangun Kesadaran Bernegara (Studi di SMA Taruna Nusantara Magelang Jawa Tengah). Jurnal Ketahanan Nasional, 26(1), 87. https://doi.org/10.22146/jkn.53132

Sari, N. F. N. K. (2025). Konstituante 1955: Dampak pemilu pertama di Kabupaten Jepara terhadap politik lokal. Nirwasita Jurnal Pendidikan Sejarah Dan Ilmu Sosial, 6(1), 1–21. https://doi.org/10.59672/nirwasita.v6i1.4130

Wingarta, N. I. P. S., Helmy, N. B., Hartono, N. D., Mertadana, N. I. W., & Wicaksono, N. R. (2021). Pengaruh Politik Identitas terhadap Demokrasi di Indonesia. Jurnal Lemhannas RI, 9(4), 117–124. https://doi.org/10.55960/jlri.v9i4.419

Penulis: Rudy Putra Pangestu (1401422073), Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Jakarta.

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com