Kemarau Molor Bukan Sekadar Cuaca, tapi Alarm Krisis Pangan Indonesia

Avatar photo
Kemarau Molor Bukan Sekadar Cuaca, tapi Alarm Krisis Pangan Indonesia
Petani menghadapi ketidakpastian musim tanam akibat kemarau yang datang terlambat (27/06/2025)

EDISIKINI.COM, JAKARTA — Musim kemarau tahun ini datang lebih lambat dari biasanya. Menurut BMKG, kemarau 2025 diprediksi lebih pendek akibat pola cuaca global yang tidak menentu. Ini bukan hanya soal langit yang masih mendung di saatnya panas, tapi soal apakah kita masih bisa panen, makan, dan bertahan.

Perubahan musim yang makin sulit ditebak bukan hal baru, tapi dampaknya makin terasa. Petani kehilangan momen tanam, sawah tergenang saatnya dikeringkan, dan panen gagal. Kita bicara tentang kerugian ekonomi, ancaman terhadap harga pangan, dan efek domino terhadap stabilitas sosial.

Ironisnya, sebagai negara agraris, kita masih terlalu bergantung pada alam tanpa cukup proteksi sistemik. Kita belum punya skema pertanian adaptif yang masif, belum semua petani punya akses informasi iklim, dan kebijakan pangan kita kadang lebih sibuk mengurus impor daripada adaptasi.

Sementara itu, perubahan iklim bukan lagi wacana akademik. Kita lihat sendiri cuaca yang tak menentu, banjir di saat kemarau, dan panas ekstrem di waktu yang tak biasa. Kalau kita masih melihat ini sebagai kejadian musiman biasa, kita sedang menipu diri sendiri.

Kemarau yang molor ini bukan sekadar cuaca aneh. Ini sinyal bahwa ada sistem besar yang perlu kita ubah. Mulai dari reformasi sistem pertanian, pendanaan untuk riset iklim dan ketahanan pangan, hingga edukasi publik. Karena krisis iklim ini tidak hanya menyerang petani di desa, tapi juga kita semua yang berharap isi piring tetap penuh.

Hari ini mungkin hanya petani yang mengeluh, tapi kalau tidak segera ada solusi, besok kita semua bisa ikut merasakannya. Dari harga yang melonjak, hingga langkanya bahan pokok. Maka jangan tunggu sampai nasi benar-benar jadi bubur.

Penulis: Nugraha Robby Fauzan

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com