Telaah Respon Massa pada Komunikasi Politik Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Calon Wakil Presiden 2024

Avatar photo
Telaah Respon Massa pada Komunikasi Politik Gibran Rakabuming Raka dalam Debat Calon Wakil Presiden 2024
Pelaksanaan debat antar Calon Wakil Presiden tahun 2024. (Narasi.tv/Youtube)

EDISIKINI.COM, JAKARTA — Pemilihan umum 2024 yang berlangsung di awal tahun menggugah ketertarikan banyak orang untuk berpartisipasi dan mencari lebih tahu mengenai gagasan setiap pasangan calon. Salah satu instrumen yang membantu masyarakat untuk mengenal lebih jauh dengan pasangan calon adalah melalui debat pemilihan umum.

Debat keempat calon wakil presiden diwarnai dengan perdebatan sengit. Masing-masing kandidat menyampaikan visi dan misi mereka, dengan memberikan penekanan kuat pada keberlanjutan alam sebagai komponen mendasar dalam program kerja yang mereka usulkan. Setiap pertanyaan yang diajukan tim panelis dijawab secara kompeten oleh masing-masing kandidat. Setiap pertanyaan atau keberatan yang diajukan oleh seorang kandidat akan ditanggapi dengan tanggapan dari kandidat lain, terkadang dilengkapi dengan contoh nyata.

Topik-topik tertentu membangkitkan emosional masyarakat. Misalnya, Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden kedua, yang mempertanyakan greenflation dan lithium ferrophosphate (LFP). Namun, kandidat lain menanggapinya dengan cara diplomatis, sehingga menarik banyak perhatian penonton langsung.

Perdebatan keempat calon wakil presiden tersebut juga menyulut berbagai pendapat, terutama sentimen negatif mengenai etika komunikasi politik yang diterapkan oleh Gibran Rakabuming Raka yang merupakan calon wakil presiden kedua saat itu. Gibran dinilai kurang beretika dalam mengemukakan gagasannya, cenderung ofensif tanpa mengindahkan substansi persoalan yang dibuka moderator.

Persepsi ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kesopanan dan rasa hormat dalam komunikasi politik, bahkan di tengah panasnya perdebatan. Hal ini mengingatkan bahwa meskipun debat merupakan platform bagi para kandidat untuk mengartikulasikan posisi mereka dan menantang lawan mereka, debat juga harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip komunikasi yang saling menghormati dan beretika.

Komunikasi Politik adalah proses dimana aktor politik mengkomunikasikan pesan-pesan politiknya kepada publik dengan tujuan untuk menggalang dukungan atau suara sebanyak-banyaknya. Hal ini memainkan peran penting dalam membentuk demokratisasi, dan melibatkan pertarungan kepentingan untuk mempengaruhi, merebut, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan, yang dilakukan oleh komunikator politik, yaitu elit (penguasa) dan masyarakat (yang diperintah) (Sulaiman, 2013).

Persaingan antar aktor politik untuk mempengaruhi masyarakat guna memperoleh suara dan mempertahankan kekuasaan tampaknya semakin ketat. Para aktor politik berlomba-lomba membangun citra politik mereka, dan hal ini semakin difasilitasi oleh munculnya media sosial, yang dapat membantu mereka melakukan branding dan melakukan kampanye politik secara lebih luas dan cepat.

Meningkatnya penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia telah mengubah fungsi media dari platform hiburan dan interaksi sosial menjadi saluran komunikasi politik. Dalam implementasi komunikasi politik, citra seorang aktor politik dibentuk dengan menerjemahkan pesan-pesan politik agar sesuai dengan kapasitas khalayak. Media massa kemudian berperan sebagai penyalur dan pembentuk pesan politik.

Media sosial telah muncul sebagai alternatif bagi para politisi untuk menarik minat generasi muda. Aktor politik dapat memperkenalkan diri, menyampaikan ide programnya, dengan menampilkannya di media sosial sebagai platform kampanye, memastikan upaya branding mereka tepat sasaran.

Baca juga:  Mahasiswa KKN UNDIP Edukasi Remaja Tegalmade tentang Jerat Hukum Pelecehan Seksual, Kunci Perlindungan Masa Depan!

Dalam contoh yang diberikan, disarankan bahwa membungkuk kepada orang lain mungkin dianggap baik dan sejalan dengan etika. Namun, jika metode ini digunakan oleh seseorang sebagai gimmick atau trik untuk mempermalukan orang yang lebih tua, hal ini mungkin tidak dianggap etis.

Aspek fisik seseorang adalah satu-satunya perhatian etiket, sedangkan etika menyelidikinya. Sebagaimana ditulis oleh Bertens, “Seseorang dapat tampil sebagai ‘tikus berbulu ayam’: sopan dan beradab di luar, namun korup di dalam. Keberhasilan banyak penipu dengan niat jahat mereka justru disebabkan oleh penampilan mereka yang halus dan menawan, yang membuat mudah untuk membujuk orang lain.”

Penentuan etis atau tidaknya suatu tindakan dapat diukur dari hati nurani seseorang. Hati nurani digambarkan oleh Bertens sebagai kesadaran moral yang memungkinkan seseorang membedakan apa yang secara moral baik atau buruk dalam perilakunya.

Pujian dapat diberikan oleh hati nurani jika seseorang telah melakukan sesuatu yang baik, namun kritik juga dapat diberikan jika tindakannya buruk. Seperti yang ditulis Bertens, “Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani yang bermasalah adalah fenomena paling mendasar. Itulah hati nurani dalam arti sebenarnya.”

Sentimen negatif warganet pada debat cawapres bisa jadi merupakan indikasi adanya kekhawatiran terhadap perilaku tidak etis. Namun yang pasti, panggung publik untuk menilai para kandidat, termasuk etikanya, ditentukan oleh perdebatan tersebut. Pada debat segmen kedua cawapres, terdapat peluang bertanya untuk menyerang calon wakil presiden nomor urut dua, Gibran, diberikan pertanyaan oleh calon wakil presiden nomor urut satu dan tiga.

Namun, respon Gibran saat penyerangan yang dilancarkan Cak Imin dan Mahfud disesalkan. Apabila misalnya bicara mengenai topik pertanian, Gibran bisa memanfaatkan semua pembahasan mengenai konversi lahan yang terjadi di Jawa Tengah, karena UMP (Upah Minimum Provinsi) adalah rendah. Namun, karena merasa dikeroyok, (Gibran) maka pembelaannya ditanggapi pihak yang mengeroyok.

Hal ini sangat disayangkan karena tindakan Gibran yang lebih mengutamakan gimmick pada debat keempat, ketimbang memanfaatkannya untuk menyerang Cak Imin soal lingkungan hidup. Sayang sekali kalau kesempatan dua (calon paslon) menyerang tiga, digunakan untuk hal seperti itu. Padahal persoalan Wadas, Kendeng bisa disinggung. Banyak peluang bagi Gibran untuk melakukan penyerangan yang lebih substantif terhadap calon wakil presiden nomor satu dan tiga.

Pada kesempatan ketika ada pertanyaan mengenai greenflation atau inflasi hijau dilontarkan oleh Gibran. Mirip dengan debat sebelumnya, pengingat untuk menjelaskan istilah tersebut diberikan oleh moderator. Permintaan rincian terminologi juga disampaikan Mahfud MD.

Menyusul respons Mahfud dengan konsep ekonomi hijau, isyarat melihat ke kanan dan ke kiri sambil membungkukkan badan dilakukan Gibran. Penelusuran jawaban Prof Mahfud dilakukan Gibran. Namun, jawabannya tidak dapat ditemukan. “Saya tanya masalah inflasi hijau, tapi yang dijelaskan ekonomi hijau” kata Gibran. Keengganan merespons ditunjukkan Mahfud.

Baca juga:  Mahasiswa KKN Undip Berikan Pelatihan Cara Disinfeksi Sebelum Masuk Area Kandang bagi Pengelola BUMDes di Desa Bawu

Pada sesi selanjutnya, pada sesi tanya jawab dengan Muhaimin, pertanyaan seputar LFP (lithium ferrophosphate) dilontarkan oleh Gibran. “Paslon nomor urut 1 dan tim suksesnya sering menggaungkan LFP. Anti nikel atau bagaimana? Mohon penjelasannya,” kata Gibran.

“Jangan khawatir Pak Gibran, semua ada etikanya, termasuk yang kita bahas di sini, tidak menebak-nebak definisi, menebak-nebak singkatannya. Kita di tataran kebijakan dan kebijakan,” kata Muhaimin. punya etika juga disampaikan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.

Beberapa pihak mengkritik etika Gibran. Ada yang berpendapat bahwa dia tidak memiliki etika debat dan terkesan berusaha menjatuhkan kandidat cawapres lainnya. Prasetyo Edi juga menyoroti soal etika dalam debat, mengatakan bahwa anak muda seharusnya memberikan contoh yang baik dan tidak mengabaikan etika hanya karena kekuasaan. Gibran kehilangan etika kepemimpinan dengan mengedepankan hasrat memenangkan debat ketimbang menonjolkan kualitas debat dengan intelektualitasnya.

Oleh karena bias yang berlebihan terhadap kepentingan politik, akibatnya adalah reaksi negatif masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk ejekan dan serangan fisik. Tanpa hadirnya etika internal dalam proses komunikasi politik yang memanfaatkan ruang media massa, evolusi demokrasi kemungkinan besar hanya akan bersifat destruktif dan bukan mendidik.

Namun, jika demokrasi mengharuskan partisipasi masyarakat, maka opini publik yang dibentuk oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan politik harus dilakukan secara etis, bermoral, dan mengutamakan kepentingan publik. Kualitas etika komunikasi politik ditentukan oleh “keseriusan pembahasan”.

Artinya, kedalaman, ketelitian, dan ketulusan dalam membahas dan memperdebatkan isu-isu politik memainkan peran penting dalam membentuk standar etika komunikasi politik. Komunikasi politik yang berpegang pada standar etika berkontribusi pada pengembangan masyarakat rasional.

Hal ini menumbuhkan masyarakat yang tidak hanya sejahtera tetapi juga damai dan adil. Hal ini karena komunikasi politik yang etis mendorong transparansi, akuntabilitas, dan rasa hormat terhadap sudut pandang yang berbeda, yang semuanya penting bagi demokrasi yang berkembang.

Masyarakat masih menaruh harapan terhadap komunikasi politik. Mereka mengharapkan wacana politik bersifat jujur, penuh hormat, dan fokus pada isu-isu yang penting bagi masyarakat. Mereka ingin para aktor politik terlibat dalam diskusi yang bermakna dibandingkan menggunakan serangan pribadi atau propaganda. Oleh karena itu, kualitas etika komunikasi politik harus terus diupayakan. Ini bukanlah tujuan yang statis namun merupakan standar dinamis yang berkembang seiring dengan masyarakat dan nilai-nilainya.

Jika kualitas etis komunikasi politik ditentukan oleh “keseriusan diskusi”, hal ini menyiratkan bahwa diskusi yang nyata dan mendalam lebih cenderung bersifat etis. Hal ini karena diskusi-diskusi seperti ini lebih cenderung berfokus pada isu-isu substantif dibandingkan topik-topik dangkal atau memecah-belah. Mereka lebih cenderung menumbuhkan pemahaman dan konsensus dibandingkan konflik dan polarisasi.

Politik demokrasi mengandaikan peran komunikasi massa dalam memberikan ruang interaksi antara aktor politik, warga negara, dan jurnalis. Ruang ini penting untuk pertukaran ide secara bebas, pengawasan terhadap tindakan politik, dan akuntabilitas kekuasaan. Hal ini memungkinkan maksimalisasi interaksi antara aktor politik, warga negara, dan jurnalis, sehingga memfasilitasi pengembangan jurnalisme publik.

Baca juga:  Cara Tepat Menjaga Kesehatan Mental di Kala Pandemi

Jurnalisme publik adalah bentuk jurnalisme yang berupaya melibatkan warga negara dalam kehidupan publik. Hal ini bertujuan untuk memberikan masyarakat informasi yang mereka perlukan untuk membuat keputusan dan berpartisipasi secara efektif dalam proses demokrasi. Dengan memberikan ruang interaksi antara aktor politik, warga negara, dan jurnalis, komunikasi massa berperan penting dalam perkembangan jurnalisme publik.

Etika komunikasi politik ditentukan oleh “keseriusan pembahasan”. Komunikasi politik yang etis berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat yang rasional, sejahtera, damai, dan berkeadilan.

Hal ini memerlukan upaya terus menerus untuk mencapai standar etika dan penyediaan ruang interaksi antara aktor politik, warga negara, dan jurnalis melalui komunikasi massa. Melalui interaksi ini, jurnalisme publik dapat dikembangkan sehingga meningkatkan proses demokrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K, 2011, Etika, Gramedia Jakarta.

Day, Louis Alvin. (2006). Ethics in Media Communication: Cases and Controversies. Belmont, CA: Thomson Wadsworth.

Kodoati, Michael. (2023). Urgensi Etika bagi Komunikasi Politik. Media: Jurnal Filsafat dan Teologi. 4. 179-214. 10.53396/media.v4i2.202.

Mufid, Muhamad. (2009). Etika dan Filsafat Komunikasi, Kencana, Jakarta.

Mulyana, Dedi. (2003). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Rosda, Bandung.

Mulyana, Deddy. (2004). Komunikasi Populer-Kajian Komunikasi dan Budaya Kontemporer. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

Nimmo, Dan, 1989, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan dan Media, Rosda, Bandung.

Permata Sari, Q. I. (2021). Strategi Kampanye Dalam Jaringan Pasangan Calon Wali Kota

Solo Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Analisa Sosiologi, 10, 19–40.

https://doi.org/10.20961/jas.v10i0.47637

Permata Sari, Q. I. (2021). Strategi Kampanye Dalam Jaringan Pasangan Calon Wali Kota

Solo Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Analisa Sosiologi, 10, 19–40.

https://doi.org/10.20961/jas.v10i0.47637

ermata Sari, Q. I. (2021). Strategi Kampanye Dalam Jaringan Pasangan Calon Wali Kota

Solo Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Analisa Sosiologi, 10, 19–40.

https://doi.org/10.20961/jas.v10i0.47637

Permata Sari, Q. I. (2021). Strategi Kampanye Dalam Jaringan Pasangan Calon Wali Kota Solo Di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Analisa Sosiologi, 10, 19–40. https://doi.org/10.20961/jas.v10i0.47637

Shahreza, Mirza dan El-Yana, Korry. (2016). Etika Komunikasi Politik. Tangerang: Indigo Media.

Sulaiman, A. I. (2013). Komunikasi Politik Dalam Demokratisasi. Observasi, 12, 119–132

Syiam, Defan Arbyan. (2022). Analisis Komunikasi Politik Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Walikota Solo 2020.

Tabroni, Roni. (2012). Etika Komunikasi Politik dalam Ruang Media Massa. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 10, Nomor 2: 105-116.

Waluyo, Djoko. (2019). Pemahaman dan Praktik Komunikasi Politik Indonesia di Era Digital. Jurnal Diakom, Vol. 2, No. 2: 167-175.

Penulis: David Wicaksono (Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com