EDISIKINI.COM — Thomas Trikasih Lembong pada 15 Juli 2025 divonis 4,5 tahun penjara atas tindak pidana korupsi. Nasib sama juga menimpa Hasto Kristiyanto yang divonis pidana penjara selama 3,5 tahun setelah terbukti melakukan tindak pidana penyuapan. Keduanya merupakan sosok yang mempunyai peran besar dalam kontestasi Pemilihan Presiden-Wakil Presiden tahun 2024 dan merupakan oposisi dari pemerintah Periode yang lalu.
Tom Lembong pada Pilpres lalu merupakan Tim Sukses dari Pasangan Calon Anies-Muhaimin dan berperan sebagai Co-Captain 2 dalam Tim Pemenangan. Hasto Kristiyanto juga merupakan Sekretaris Eksekutif dari Tim Pemenangan Nasional, Tim Kampanye dari Pasangan Calon Ganjar-Mahfud. Keduanya kerap menyinggung kebijakan dari Presiden Jokowi dan juga rencana program Pasangan calon Prabowo-Gibran
Di tengah panasnya kontestasi, Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai Tersangka atas Korupsi Impor Gula. Kemudian KPK juga menetapkan Hasto sebagai Tersangka Perkara Suap terhadap Komisioner KPU. Banyak masyarakat yang menilai penetapan tersangka oleh Kejagung & KPK ini bersifat Politis sebab kedua orang tersebut berada di pihak oposisi dan memiliki peran penting di masing masing Paslon.
Pemilu telah berlalu, meskipun proses peradilan atas Lembong dan Hasto diragukan serta dinilai sebagai Peradilan atas lawan politik, Hakim tetap memvonis keduanya bersalah dan harus menjalani hukuman penjara. Sesaat setelah Vonis hakim dijatuhkan, Presiden memutuskan untuk memberi Amnesti kepada 1.178 terpidana termasuk diantaranya Hasto, serta secara khusus memberi Abolisi bagi Tom Lembong. Sontak keputusan ini mengejutkan publik karena untuk pertama kalinya pengampunan diberikan kepada Terpidana Kasus Korupsi.
Penerapan Amnesti sudah dikenal sejak zaman Mesir kuno dan mulai dikenal luas sejak pemerintahan Athena mengampuni rezim “Tiga Puluh Tiran” atas pemerintahannya yang bersifat represif. Amnesti didefinisikan sebagai pemulihan status hukum dari seseorang dan dianggap tidak pernah melakukan tindak pidana. Sedangkan, Abolisi berasal dari bahasa inggris “Abolition” yang berarti penghapusan. Abolisi dimaknai sebagai bentuk penghapusan terhadap proses hukum seorang individu sehingga seolah tidak pernah terjadi. Bila mengingat kembali teori Pemisahan Kekuasaan oleh Montesquieu, Kekuasaan dibagi menjadi tiga cabang yang sama kuat dan saling mengawasi. Legislatif dengan wewenang membuat Undang Undang, Eksekutif dengan wewenang melaksanakan Undang Undang, dan Yudikatif sebagai lembaga yang merdeka dari intervensi dalam mengadili sengketa.
Tetapi dalam ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan Eksekutif jauh lebih kuat dari dua kekuasaan lainnya terkhusus Yudikatif. Bila kita lihat Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Presiden sebagai kekuasaan Eksekutif berwenang untuk memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR. Kewenangan yang diberikan pada Presiden tersebut merupakan bentuk Intervensi lembaga Eksekutif terhadap kekuasaan Yudikatif. Mahfud MD menyatakan bahwa idealnya Politik berada dibawah kendali Hukum, tetapi faktanya Hukumlah yang berada di bawah Politik sebab Hukum sendiri merupakan Produk Politik.
Baik Amnesti maupun Abolisi, keduanya merupakan bentuk privilege yang didapat secara konstitusional untuk pihak pemerintah dan rezim penguasa. Amnesti dan Abolisi sendiri dalam penerapannya bersifat sangat Politis, sebab pemberian Amnesti dan Abolisi umumnya bertujuan agar tercipta stabilitas negara. Selaras dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar bahwa Amnesti dan Abolisi itu merupakan bahasa politik yang bertujuan untuk menciptakan rekonsiliasi pada kondisi politik.
Di Indonesia, Amnesti dan Abolisi umum diberikan kepada pelaku pidana yang bersifat politis. Aktivis masa orde baru Budiman Sudjatmiko merupakan salah satu contoh dari pemberian Amnesti untuk tahanan Politik. Kemudian mantan milisi GAM yang memperoleh Amnesti sebagai bagian dari kesepakatan pada MoU Helsinki. Begitu juga dengan pengampunan terhadap Hasto dan Lembong yang memang diberikan karena proses pemidanaan terhadap keduanya sarat unsur politis dan pemberian pengampunan diharapkan dapat menciptakan situasi politik yang kondusif.
Pemberian Amnesti dan Abolisi oleh Presiden Prabowo kepada Hasto dan Lembong memang menimbulkan pro kontra. Menjadi sebuah pertanyaan tentang apa yang menjadi alasan bagi Presiden untuk memberikan keduanya “pengampunan” terutama pelanggaran yang dilakukan merupakan tindak pidana Korupsi dan merupakan kali pertama pengampunan diberikan kepada pelaku Korupsi. Presiden melalui Wakil Menteri Sekretaris Negara menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak melakukan intervensi terhadap Proses Hukum. Pemberian Amnesti serta Abolisi merupakan salah satu bentuk kebijakan yang tujuannya untuk merangkul semua pihak agar kembali bersatu dan bergotong royong demi Indonesia yang lebih Maju.
Pernyataan Istana mengisyaratkan bahwa pemberian Amnesti dan Abolisi merupakan upaya rekonsiliasi politik. Amnesti Hasto & Abolisi Lembong adalah sebuah isyarat kepada masyarakat agar kembali bersatu bersama pemerintah demi masa depan Indonesia. Disaat yang bersamaan dengan Amnesti Hasto, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyatakan kepada kadernya untuk mendukung segala kebijakan Pemerintah. Nampaknya kebijakan pengampunan Presiden dalam rangka rekonsiliasi politik memang berhasil, tetapi disaat yang sama kebijakan tersebut memberi pandangan pesimistis terhadap penegakan hukum pelaku Korupsi.
ICJR mempertanyakan transparansi atas kebijakan pemerintah ini. ICJR menilai ini sebagai bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum yang seharusnya independen dan bebas dari kepentingan politik. ICJR juga mempertanyakan tentang kriteria serta proses verifikasi Amnesti dan Abolisi dilakukan, sebab belum ada aturan baku yang secara jelas mengatur. ICW juga menyatakan pendapat yang serupa bahwa mekanisme verifikasi dan pemberian pengampunan harus diatur. Pemberian pengampunan terhadap terdakwa yang kasusnya belum inkracht merupakan bentuk intervensi dan mencederai prinsip Check and Balances.
Kekhawatiran masyarakat ialah bagaimana Penegakan hukum khususnya bagi pelaku Korupsi di masa depan. Untuk pertama kalinya di Indonesia pengampunan diberikan kepada pelaku korupsi. Hal ini bermasalah sebab melanggar prinsip Trias Politica dimana lembaga Eksekutif mencampuri wewenang Yudikatif demi kepentingan politik, apalagi Tindak Pidana yang dilakukan tergolong Extraordinary Crime. Masyarakat khawatir Pelaku Korupsi akan mudah lepas dari jerat hukum asal memiliki kedekatan dengan Presiden atau daya tawar politik yang cukup. Hal ini telah terjadi saat KPK menetapkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan menjadi tersangka kasus dugaan pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Dengan tanpa ragu dan rasa bersalah ia mengharapkan Amnesti dari Presiden.
Intervensi politik terhadap penegakan Hukum tidaklah dapat dibenarkan meski terdapat banyak kritik dalam upaya penegakan hukum itu sendiri. Saat ini, dalam hal pemberian Amnesti dan Abolisi masih terdapat kekosongan hukum dan belum ada peraturan turunan yang jelas dalam pelaksanaanya. Sebagai produk politik yang dapat mempengaruhi penegakan Hukum, sudah sepantasnya Amnesti dan Abolisi diatur lebih rinci dalam suatu kelembagaan berupa Undang-Undang atau peraturan turunan yang transparan dan jelas dalam pengimplementasiannya. Penting bagi masyarakat untuk ikut mengawasi serta mengetahui tentang bagaimana intervensi politik terhadap penegakan hukum yang dibenarkan oleh Konstitusi dilaksanakan.
Penulis: Aditya Saputra, Calvin Nicholas, Chyntia Naomi













