Berita  

Wujud Bela Negara Mahasiswa Informatika dalam Menjaga Kemerdekaan Indonesia di Era Digital

Avatar photo
Wujud Bela Negara Mahasiswa Informatika dalam Menjaga Kemerdekaan Indonesia di Era Digital

EDISIKINI.COM — Sejak 17 Agustus 1945, Indonesia telah merayakan kemerdekaannya dari penjajahan fisik. Namun di abad ke-21 ini, kemerdekaan tidak hanya diukur dari kedaulatan militer ataupun kepemilikan wilayah saja, tetapi juga dari kendali atas ruang digital dan data warga negaranya. Lantas apakah Indonesia benar-benar telah merdeka di era digital dikala data masyarakat kita masih mengalami kebocoran, diperjualbelikan, bahkan dikelola pihak asing tanpa transparansi. Kebocoran atau perdagangan data warga Indonesia tidak hanya menghilangkan privasi, tetapi juga mengikis kedaulatan bangsa yang mana bisa menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana Indonesia benar-benar memiliki kendali atas ruang digitalnya sendiri. Data pribadi merupakan “minyak baru” dalam ekonomi digital di masa sekarang ini, ia bisa digunakan untuk membangun profil perilaku, menargetkan kampanye politik, hingga dapat digunakan untuk menggiring opini publik. Jika data jatuh ke tangan asing, kontrol atas masa depan bangsa pun akhirnya bisa ikut terpengaruhi.

Pada Juli 2025, Indonesia menandatangani kesepakatan perdagangan timbal balik dengan Amerika Serikat yang mencakup transfer data lintas negara. Perjanjian ini menyatakan bahwa sistem perlindungan data di AS dianggap memadai bagi Indonesia, sehingga data pribadi warga Indonesia bisa diproses di luar negeri tanpa hambatan hukum. (Asianews Network, 2025). Kesepakatan ini dianggap strategis oleh pemerintah kita karena dipercaya dapat memperkuat kerja sama dalam bidang ekonomi digital dan membuka peluang investasi. Namun, beberapa pengamat berpendapat bahwa langkah ini memiliki potensi dalam mengurangi kedaulatan digital Indonesia karena data yang seharusnya menjadi aset nasional justru berisiko dikendalikan oleh pihak asing. Bahkan, organisasi penyedia pusat data lokal sudah memperingatkan bahwa perjanjian ini dapat membuat peran pusat data dalam negeri hanya menjadi sebatas pendukung, sementara pemrosesan utama data dipindah ke luar negeri.

Namun sebelum kita berbicara terlalu jauh soal kerja sama lintas negara, perlu diingat bahwa persoalan keamanan data di dalam negeri sendiri juga masih jauh dari kata siap. Kasus kebocoran di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 Surabaya pada pertengahan 2024  menjadi bukti nyata betapa rapuhnya pengelolaan data nasional yang kita miliki ini. Sebagian besar informasi publik ternyata tidak memiliki backup yang memadai sehingga ketika insiden ini peretasan ini terjadi, berbagai layanan vital langsung lumpuh tanpa rencana pemulihan yang jelas (Tempo, 2024). Situasi seperti ini menunjukkan kepada kita bahwa sebelum data kita dikirim ke luar negeri, fondasi keamanan dan tata kelola data nasional saja terbilang masih lemah. Jika data warga kita sudah bicih dan tidak tersimpan dengan aman di negara sendiri, lantas seberapa besar lagi resiko yang akan ditanggung dengan pemerintah kita membuka akses tersebut ke pihak asing, sedangkan aset digital seharusnya kita lindungi sepenuhnya demi kedaulatan bangsa.

Langkah ini pada akhirnya memperlihatkan wajah baru kolonialisme kepada kita yang praktiknya bukan lagi melalui senjata maupun kekuatan militer, melainkan lewat penguasaan informasi. Pemerintah boleh saja menyebutnya kesepakatan transfer data dengan Amerika Serikat sebagai peluang strategis, tetapi di balik retorika kerja sama itu tersimpan risiko yang tidak bisa kita remehkan, apalagi dengan rapuhnya sistem pengelolaan data nasional kita seperti yang tampak pada kasus kebocoran data PDNS 2. Kebijakan ini justru mendorong bangsa kita untuk menggantungkan infrastruktur vital pada pihak asing yang akhirnya data masyarakat kita bukan lagi soal privasi semata, melainkan soal siapa yang berhak mengendalikan arah ekonomi, politik, bahkan keamanan nasional. Begitu ketergantungan itu terbentuk, sulit bagi kita untuk lepas tanpa membayar harga yang lebih mahal. Kondisi ini bukan sekadar persoalan teknis infrastruktur, melainkan menyangkut arah strategis bangsa dalam menjaga kendali atas aset digitalnya sendiri. Jika akses dan pengolahan data berada di luar negeri, maka kendali atas masa depan bangsa perlahan bergeser keluar dari tangan kita sendiri sehingga jargon “kedaulatan digital” hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna yang nyata.

Sebagai mahasiswa Informatika, bela negara di era digital ini bukan hanya diwujudkan melalui atribut, upacara, ataupun slogan nasionalisme tetapi bela negara harus dimaknai lebih luas dan substansial seperti bagaimana kesadaran kita dalam mengelola, melindungi, dan memaknai data sebagai bagian dari kedaulatan bangsa. Mereka yang berkecimpung di dunia Informatika memegang peran penting dalam ruang siber nasional. Setiap sistem yang dirancang atau data yang dikelola bisa menjadi benteng pertahanan namun juga dapat berpotensi menjadi celah ancaman bagi keamanan digital negara. Oleh karena itu, tanggung jawab etika di dalam dunia teknologi bukan hanya sekedar tugas akademik, tetapi hal tersebut merupakan bentuk nyata bela negara dalam usaha untuk mempertahankan kemandirian digital di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

Bagaimanapun, bentuk tanggung jawab itu tidak selalu berbentuk besar dan heroik, Ia justru lahir dari kebiasaan kecil yang konsisten seperti menolak menggunakan perangkat lunak bajakan, tidak membocorkan data pribadi sembarangan, memahami dasar keamanan siber, bersikap kritis terhadap layanan digital gratis yang meminta akses berlebihan, serta berhati-hati dalam membagikan informasi di platform media sosial. Kesadaran kecil semacam inilah yang menjadi pondasi kedaulatan digital bangsa karena sekuat apapun sistem keamanan yang dibangun, jika manusianya masih abai terhadap etika dan keamanan digital maka merdeka dalam ruang digital bisa jadi hanya akan menjadi angan-angan belaka. Dalam konteks ini, bela negara bukan hanya sekedar urusan aparat atau pemerintah, melainkan juga tanggung jawab generasi muda terutama mereka mahasiswa Informatika yang cukup menguasai teknologi untuk nantinya memastikan Indonesia benar-benar merdeka, bukan hanya di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya.

Pada akhirnya, bela negara di ranah digital ini termasuk bentuk perjuangan baru kita dalam menegakkan integritas, inovasi serta kemandirian di tengah kuatnya arus globalisasi. Mahasiswa Informatika sepatutnya berani untuk kelak mengambil peran sebagai penjaga gerbang informasi, pengembang solusi keamanan data nasional, dan pencipta teknologi lokal yang mampu bersaing secara global tanpa kehilangan  identitas nasionalnya. Sebab di tangan kitalah masa depan digital Indonesia akan ditentukan, apakah kelak Indonesia akan menjadi bangsa yang berdiri tegak di atas kemampuan sendiri atau hanya menjadi penonton di panggung teknologi dunia.

 

REFERENCES

Tasyarani, N. M. (2025, July 25). Indonesia-US trade deal possible threat to data sovereignty. Asia News Network. Retrieved September 28, 2025, from https://asianews.network/indonesia-us-trade-deal-possible-threat-to-data-sovereignty/

Novali Panji Nugroho, & Ninis Chairunnisa. (2024, June 26). Data di PDNS Tak Bisa Dipulihkan karena Ransomware, Pemerintah Ogah Tebus Permintaan Peretas. Tempo; PT Tempo Inti Media. https://www.tempo.co/politik/data-di-pdns-tak-bisa-dipulihkan-karena-ransomware-pemerintah-ogah-tebus-permintaan-peretas-45499

 

 

Editor: Nur Ardi, Tim Edisikini.com