EDISIKINI.COM, Medan — Banjir yang kembali merendam sejumlah wilayah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa ruang hidup kita semakin rapuh. Air yang datang tiba-tiba menelan halaman, rumah, dan ketenangan warga, seolah ingin mengingatkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam cara kita menjaga lingkungan. Fenomena ini bukan hanya soal curah hujan tinggi, tetapi juga cerminan keputusan manusia yang mengabaikan batas alam. Dalam hitungan jam, ketertiban yang dibangun manusia lenyap dan digantikan kekacauan yang bisa diprediksi.
Tahun ini, banjir memperlihatkan betapa rapuhnya tata ruang kota. Sungai yang dulu mengalir tenang kini terhimpit bangunan, jalan, dan fasilitas publik. Setiap hujan deras membuka titik-titik lemah yang selama ini tersembunyi. Warga menjadi pihak pertama yang merasakan konsekuensi dari keputusan jangka pendek yang tidak berpihak pada keselamatan lingkungan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembangunan yang tidak selaras dengan alam akan selalu menimbulkan risiko.
Di beberapa daerah, daya serap tanah menurun karena pepohonan ditebang dan diganti beton. Ruang hijau yang tersisa pun terus berkurang setiap tahun. Akibatnya, air hujan tidak lagi mudah meresap ke tanah, melainkan memilih masuk ke rumah-rumah warga yang tidak siap. Perubahan kecil pada lingkungan ternyata bisa menimbulkan dampak besar bagi kehidupan sehari-hari. Banjir bukan sekadar peristiwa alam, tetapi konsekuensi dari perilaku kolektif manusia.
Setiap banjir yang terjadi kembali menghadirkan janji-janji penataan ulang. Janji tersebut terdengar familiar, tetapi sering berhenti di meja rapat dan tidak pernah diwujudkan secara nyata. Warga harus membersihkan lumpur, memperbaiki rumah, dan menyelamatkan barang-barang mereka sendiri. Rasa lelah menunggu kebijakan yang tak kunjung hadir menjadi bagian dari pengalaman rutin. Fenomena ini membuat masyarakat mempertanyakan efektivitas kebijakan yang selama ini dibuat.
Fenomena banjir juga memperlihatkan hubungan manusia dan alam yang timpang. Kita membangun tanpa memberi ruang bagi sungai untuk bernafas. Ketika alam menagih kembali ruangnya, kita sering terkejut. Padahal, sungai hanya menuntut haknya sendiri. Pola ini mengulang dari satu banjir ke banjir berikutnya tanpa ada evaluasi menyeluruh.
Kondisi seperti ini membuat saya teringat dengan tulisan Sudirman dan Mahfuzi dalam buku Pendidikan Multiliterasi yang menyatakan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan eksplorasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kalimat itu kembali hadir sebagai pengingat bahwa fenomena banjir adalah konsekuensi nyata dari cara manusia memperlakukan alam. Bukan teori belaka, tetapi pantulan kenyataan yang bisa kita saksikan sendiri. Kehilangan keseimbangan antara ambisi manusia dan kebutuhan alam menjadi inti masalah.
Selain itu, penataan ruang yang tidak berpihak pada alam memperlihatkan kelemahan dalam sistem perizinan pembangunan. Banyak bangunan berdiri di bantaran sungai tanpa evaluasi memadai. Ketika hujan turun, semua kelemahan itu langsung terlihat. Warga menjadi pihak pertama yang merasakan akibatnya. Fenomena ini menegaskan bahwa regulasi tanpa pengawasan adalah sumber masalah.
Keterbatasan ruang hijau juga memperparah dampak banjir. Kawasan resapan semakin menyusut akibat ekspansi permukiman dan jalan. Pepohonan yang seharusnya menyerap air hujan banyak ditebang. Akibatnya, air mengalir ke rumah dan jalan yang seharusnya aman. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang hijau bukan sekadar estetika, tetapi kunci untuk menahan banjir.
Selain itu, pola perilaku masyarakat turut memengaruhi dampak banjir. Sampah yang dibuang sembarangan menyumbat saluran air. Drainase menjadi tersumbat dan air tidak lagi mengalir lancar. Ketika air naik, warga menjadi korban dari pola perilaku sendiri dan sistem yang lemah. Fenomena ini menunjukkan pentingnya kesadaran kolektif.
Media juga memiliki peran dalam fenomena ini. Liputan yang terus-menerus tentang dampak banjir membuat perhatian publik tetap ada. Tanpa sorotan media, bencana hanya dianggap sebagai peristiwa musiman. Informasi yang konsisten mendorong masyarakat dan pemerintah untuk tidak mengabaikan ancaman. Fenomena ini membuktikan bahwa perhatian publik dapat memperkuat kesadaran kolektif.
Solusi untuk menahan banjir tidak selalu rumit. Memberi ruang bagi sungai untuk bernafas adalah langkah awal yang paling penting. Penataan ulang kawasan rawan dan pemulihan ruang terbuka dapat mengurangi dampak banjir. Langkah sederhana ini jauh lebih efektif daripada program besar yang sering terlambat diterapkan. Fenomena menunjukkan bahwa solusi yang masuk akal kadang terlewatkan karena kurangnya keberanian.
Kesadaran masyarakat juga menjadi kunci. Mengelola sampah dengan benar dan menjaga saluran tetap bersih dapat memberikan dampak nyata. Tindakan sederhana ini tidak membutuhkan anggaran besar. Fenomena banjir mengajarkan bahwa perilaku kolektif yang baik lebih berpengaruh daripada kebijakan yang terlambat. Hal ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab.
Pemerintah daerah perlu mengambil peran lebih konsisten. Evaluasi wilayah rawan dan penertiban bangunan bermasalah harus dilakukan secara rutin. Penanganan tidak bisa selalu bersifat reaktif. Fenomena yang sama berulang setiap tahun menunjukkan bahwa pendekatan saat ini tidak cukup. Langkah preventif jauh lebih efektif daripada menunggu bencana datang.
Selain itu, teknologi informasi harus dimanfaatkan untuk sistem peringatan dini. Masyarakat yang mendapat informasi lebih awal dapat menyelamatkan diri dan harta benda. Keterlambatan informasi hanya menambah kerugian. Fenomena ini menunjukkan bahwa komunikasi yang baik dapat mengurangi dampak bencana secara signifikan.
Banjir juga membuka pertanyaan tentang prioritas pembangunan. Apakah pembangunan mengikuti kebutuhan ekologis atau hanya mengejar target ekonomi? Fenomena ini memperlihatkan bahwa pembangunan yang tidak berpihak pada alam akhirnya menimbulkan masalah jangka panjang. Kesalahan ini tidak terlihat secara instan, tetapi dampaknya selalu terasa.
Fenomena banjir yang berulang mengingatkan bahwa ruang hidup manusia tidak bisa diatur semena-mena. Air akan selalu menuntut jalannya sendiri ketika ruangnya dipersempit. Alam bekerja sesuai aturan sendiri, bukan atas kehendak manusia. Ini adalah refleksi penting yang harus disadari semua pihak.
Kejadian di Sumatera Utara menjadi catatan penting bahwa setiap keputusan manusia terhadap lingkungan membawa konsekuensi. Banjir bukan sekadar masalah cuaca, tetapi masalah pilihan dan pola pikir. Fenomena ini mengajarkan bahwa tanpa kesadaran, risiko akan selalu ada. Solusi sederhana tetap perlu dilakukan, walau tidak mampu menghapus semua ancaman.
Pada akhirnya, sungai yang meluap adalah pesan nyata. Ia menegaskan ketidakseimbangan antara ambisi pembangunan dan kebutuhan alam. Fenomena ini menuntut perhatian lebih dari manusia, bukan hanya janji dan retorika. Ketika ruang untuk air dipulihkan, kesadaran masyarakat tumbuh, dan kebijakan dijalankan dengan sungguh-sungguh, barulah banjir tidak lagi menjadi ancaman rutin.
Penulis: Laura Aulia Silalahi, mahasiswa Pendidikan Masyarakat Universitas Negeri Medan
Penulis merupakan mahasiswa semester 3 pada Program Studi Pendidikan Masyarakat Universitas Negeri Medan. Penulis mempunyai ketertarikan dalam menulis sejak duduk di bangku Sekolah Menengah dan sekarang kembali mengasah kemampuan menulis melalui opini yang dibuat dengan harapan dapat diterbitkan. Terima kasih.













