EDISIKINI.COM, Babel — Praktik diskriminasi rasial di lingkungan pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan. Meski sekolah selama ini dipandang sebagai ruang yang menjunjung kesetaraan, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman, kenyataannya masih banyak siswa yang mengaku mendapat perlakuan berbeda berdasarkan warna kulit, suku, bahasa daerah, maupun identitas etnis lainnya.
Fenomena tersebut kerap diwujudkan dalam bentuk candaan, ejekan, hingga stereotip yang dianggap wajar. Namun, para pakar menilai bahwa perilaku tersebut memberikan dampak psikologis yang serius dan berpotensi mempengaruhi prestasi serta masa depan siswa.
Tidak hanya terjadi di ruang kelas, diskriminasi juga muncul dalam aktivitas sekolah sehari-hari. Sejumlah siswa dari kelompok minoritas mengungkapkan bahwa mereka sering dikucilkan secara sosial, sulit diterima dalam organisasi sekolah, hingga merasa dirugikan dalam proses seleksi beasiswa maupun jalur prestasi.
“Kadang kami dianggap tidak mampu meskipun nilai kami tinggi,” ujar seorang siswa yang menolak menyebutkan identitasnya.
Perspektif Sosiologi: Masalah Struktural, Bukan Sekadar Perilaku Individu
Dalam perspektif Teori Konflik, kelompok dominan dinilai mempertahankan kekuasaan dengan mengontrol akses terhadap fasilitas dan kesempatan pendidikan. Sementara itu, pendekatan Interaksionisme Simbolik, terutama konsep labeling, menjelaskan bahwa stereotip negatif yang diberikan kepada siswa minoritas dapat menurunkan rasa percaya diri dan prestasi akademik mereka.
Pengamat pendidikan menilai bahwa rasisme di sekolah merupakan persoalan budaya dan struktur sosial.
“Jika candaan rasial dianggap hal biasa, maka sekolah sudah gagal menjadi ruang aman bagi peserta didik,” tegas seorang peneliti pendidikan inklusif.
Dampak Nyata dan Ketimpangan Peluang
Sejumlah kasus menunjukkan bahwa diskriminasi berpengaruh langsung pada kesempatan akademik. Misalnya, siswa tertentu tidak direkomendasikan mengikuti lomba meskipun berprestasi, atau tidak dilibatkan dalam kegiatan publik sekolah karena dianggap tidak sesuai secara visual. Di kantin dan lingkungan non-akademik lainnya, siswa dari kelompok etnis tertentu juga dilaporkan menjadi objek ejekan.
Seruan Perubahan: Kebijakan Tegas dan Pendidikan Anti-Rasisme
Langkah strategis untuk menghentikan praktik diskriminatif di sekolah. Di antaranya:
- Pelatihan sensitivitas budaya bagi guru dan tenaga kependidikan.
- Penyusunan kebijakan anti-diskriminasi yang tegas di lingkungan sekolah.
- Pembentukan budaya sekolah yang menghargai keberagaman.
- Ruang dialog antar siswa untuk membangun kesadaran mengenai bahaya rasisme.
Rasisme disebut sebagai bentuk kekerasan simbolik yang dapat merusak perkembangan siswa dan memperlemah fungsi pendidikan sebagai alat mobilitas sosial.
Tuntutan Publik
Masyarakat kini menanti tindakan nyata dari pemerintah dan lembaga pendidikan untuk memastikan bahwa sekolah kembali menjadi ruang aman bagi semua anak bangsa tanpa pengecualian.

Penulis: Safia Andena, Mahasiswi Universitas Bangka Belitung













